PERKEMBANGAN ISLAM DI NUSANTARA



Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. tidak diturunkan di negara kita indonesia, tetapi diturunkan di Jazirah arab. Lalu bagaimana ajaran Islam tetap lestari dan dapat sampai di Indonesia? Siapa orang yang berjuang membawakan ajaran tersebut sampai di sini? Dengan cara apa ajaran Islam sampai? Dan bagaimana keadaan dan perkembangan ajaran Islam setelah itu di Indonesia? Berikut kita perhatikan bersama penjelasan mengenai hal-hal tersebut di bawah ini.
A.      Sejarah Masuknya Islam di Indonesia
Secara historis, proses masuknya agama islam ke Indonesia belum dapat dipastikan waktunya. Beberapa sejarawan menyebutkan abad ke-7 sebagai awal masuknya islam. Pendapat lain mengatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13. Berdasarkn penelitian para ahli, agama Islam dibawa dan dikembangkan oleh para saudagar muslim dari Gurajat, Arab, dan Persia. Ajaran ini diterima oleh masyarakat yang tinggal di pesisir pantai utara. Dengan demikian, melalui para saudagar inilah agama Islam mulai berkembang pesat yang ditandai adanya kerajaan-kerajaan Islam di pesisir pantai.
Perkembangan agama islam di Indonesia berlangsung sangat cepat. Hal ini tidak terlepas dari peranan para saudagar muslim, dan mubalig, yang dalam hal ini termasuk peran walisongo. Dengan penuh semangat mereka menyebarkan nilai-nilai islam kepada masyarakat setempat. Nilai- nilai ajaran islam tersebut di sampaikan melalui perdagangan, sosial, dan pendidikan. Peranan Saudagar Muslim dalam Penyebaran Agama Islam
           Dengan berbagai upaya dan perjuangan yang dilakukan oleh para saudagar muslim tersebut, kehadiran Islam di nusantara bukan hanya berkenan di kalangan masyarakat barat, melainkan juga telah menyentuh masyarakat kelas atas, seperti kaum bangsawan, tokoh masyarakat, kepala suku, dan para uleebalang (ketua adat).
            Perjuangan para saudagar muslim tidak berhenti sampai di situ. Mereka terus berjuang dan tak kenal lelah menyebarkan nilai-nilai ajaran Islam  pada masyarakat haingga berhasil.
1.             Peranan Wali Songo dan Ulama dalam Penyebaran Agama Islam
                Selain para pedagang, faktor lain yang memiliki jasa besar dalam penyebaran agama Islam di Indonesia adalah ulama dan mubaliq. Penyebaran agama Islam khususnya di jawa dikembangkn oleh sejumblah wali. Untuk mengoordinasikan kegiatan dakwah yang dilakukan oleh para wali tersebut, dibentuklh sebuah orgnisasi Wali Songo (Ulama Sembilan) yang beranggotakan sembilan orang wali.
                Wali adalah seseorang yang mamiliki kepribadian baik dan dianggap dekat dengan Allah swt. Serta mempunyai kemampuan atau kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia biasa. Pendapat lain mengatakan bahwa seorang wali adalah orang yang selalu dijaga oleh Allah swt dan senantiasa berbakti kepada-Nya.
                Wali Songo mangembangkan agama Islam antara abad ke-14 sampai abad ke-16M. Dalam buku Babad  Tanah Jawi dikatakan bahwa dalam berdakwah para wali ini dinggap sebagai sekelompok mubaliq untuk daerah penyiaran tertentu. Selain dikenal sebagai ulama, mereka juga berpengaruh besar dalam pemerintahan. Oleh karena itu, mereka diberi gelar sunan atau susunan (junjungan).
                Berikut ini di antara Wali Songo yang berperan dalam menyiarkan dan mengembangkan agama Islam di Pulau Jawa.
1.  Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) 
Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Maulana Magribi karena berasal dari wilayah Magribi (Afrika Utara). Namun, ia lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gresik karena selama lebih 20 tahun ia berhasil mencetakkader penyebaran agama Islam pertama di Pulau Jawa. Ia berdakwah secara intensif dan bijaksana. Meskipun bukan orang jawa, tetapi ia mampu mengatasi keadaan masyarakat setempat dan menerapkan metode dakwah yang tepat untuk menarik simpati masyarakat kepada Islam. Di antara upayanya, yaitu menghilangkan sistem kasta dalam masyarakat.
2.  Sunan Ampel (Maulana Rahmatullah)
                Sunan Ampel memulai dakwahnya dari sebuah pesantren yang didirikan di Ampel Denta (dekat Surabaya). Sunan Ampel dikenal sebagai wali yang tidak setuju terhadap adat istiadat masyarakat jawa pada masa itu, misalnya kebiasaan mengadakan sesajin atau selamatan. Namun, para wali lain berpendapat bahwa hal itu tidak dapat dihilangkan dengan segera, melainkan dengan cara memasukkan nilai-nilai Islami di dalamnya. Sunan Ampel juga di anggap sebgai penerus cita-cita dan perjuangan Sunan Gresik.
                3.  Sunan Bonang (Maulana Makhdun Ibrahim)
                Sunan Bonang termasuk Wali yang menyebarkan agama Islam dengan cara menyesuaikan kebudayaan masyarakat Jawa, seperti wayang dan musik gamelan. Untuk itu dia menciptakan gending-gending yang memiliki nilai-nilai keislaman. Setiap bait lagu diselingi dengan ucapan dua kalimat syahadat (syahadatain) sehingga musik gamelan yang mengiringinya dikenal dengan istilah Sekaten.
4.         Sunan Drajat (Maulana Syaifuddin)
Sunan Drajat dikenal sebagai seorang wali yang berjiwa sosial tinggi. Sumbangsih nya terhadap yatim piatu, fakir miskin, dan orang sakit cukup banyak. Perhatiaannya yang demikian besar terhadap masalah sosial sangat tepat karena ia hidup pada saat kerajaan majapahit runtuh dan rakyat mengalami krisis yang memprihatinkan. Selain itu, dalam berdakwah ia juga menggunakan media kesenian. Pangkur adalah salah satu ciptaannya.
5.         Sunan Giri (Maulana Ainul Yaqin)
Sunan Giri yang aslinya bernama Raden Paku merupakan seorang wali yang menyebarkan agama Islam dengan menitikberatkan pada bidang pendidikan. Ia pernah belajar di Pesantren Anpel Denta dan juga sebagai pendiri Pesantren Giri. Dapat dikatakan bahwa Sunan Giri merupakan tokoh pemersatu Indonesia di bidang pendidikan agama islam.
                6.  Sunan Kalijaga (Maulana Muhammad Syahid)
                Sunan Kalijaga selain dikenal sebagai seorang wali, juga sebagai budayawan dan seniman. Karena wawasannya yang luas dan pemikirannya yang tajam, ia tidak hanya disukai oleh rakyat tetapi juga para cendekiawan dan penguasa. Sunan Kalijaga melakukan dakwahnya dengan cara berkelana. Sarana dakwah yang digunakan berupa pertunjukan wayang kulit. Alur cerita dan tokoh wayang memuat nilai-nilai islam. Di antara lagu yang diciptakannya adalah Dandanggula.
7.       Sunan Muria (Maulana Umar Said)
Sunan Muria termasuk salah satu Wali Songo yang dikenal pendiam, tetapi sangat tajam fatwanya. Oleh karena itu, ia juga dikenal sebagai guru tasawuf. Dalam menyebarkan agama Islam ia lebih memfokuskan di daerah pedesaan kerena ia sendiri tinggal di tempat yang jauh dari keramaian bersama rakyat biasa. Ia juga seorang wali yang menyukai seni. Dua tembang yang bernuansa Islam hasil ciptaan nya adalah Sinom dan Kinanti. Tembang Sinom umumnya melukiskan suasana ramah tamah dan nasihat. Adapun tembang Kinanti bernada gembira digunakan untuk menyampaikan ajaran agama, nasihat, dan falsafah hidup.
8.       Sunan Kudus (Maulana Ja’far Shadiq)
Wali Songo yang mendapat gelar wali Al ilmi (orang berilmu luas) adalah Sunan Kudus karena memiliki berbagai ilmu agama, seperti ilmu tauhid, dan fikih. Karena keahliannya itu, ia mendapat kepercayaan dari Kesultanan Demak untuk melancarkan penyebaran Islam, ia membangun sebuah masjid di Kudus yang disebut Menara Kudus karena disampingnya terdapat Bedug Masjid.
9.       Sunan Gunung Jati (Maulana Syarif Hidayatullah)
Salah seorang Wali Songo yang sangat berperan dalan penyebaran agama Islam  di Cirebon-Jawa Barat adalah Sunan Gunung Jati. Ia merupakan cucu Raja Pajajaran yang lahir di Mekah. Setelah Dewasa, ia memilih berdakwah di Jawa dan berhasil menjadikan Cirebon sebagai kerajaan Islam pertama di Jawa Barat.
                Adapun para wali dalam mengembangkan agama Islam di wilayah luar Jawa adalah :
1)       Syekh Samsuddin, telah berhasil menyiarkan dan mengembangkan agama Islam di daerah Kalimantan Barat.
2)       Datuk Ribandang, telah menyiarkan dan mengembangkan agama Islam di daerah Sulawesi.
3)       Sunan Giri, telah menyiarkan dan mengembangkan agama Islam ke daerah Nusa Tenggara, Banjarmasin, Ternate, Maluku, dan daerah-daerah lainnya disamping Pulau Jawa sendiri sebagai pusat kegiatannya.
4)       Syekh Burhanudin, telah berjasa dalam menyiarkan agama Islam di Ulakan-Minangkabau.
2.             Peranan Pedagang Muslim
Pedagang-pedagang Muslim mendarat di daerah-daerah pesisir seperti Lamuri (Aceh), Barus dan Palembang di Sumatera serta Sunda Kelapa dan Gresik di Jawa. Dari daerah ini Islam menyebar ke daerah pesisir Indonesia lainnya seperti Bengkulu, Banten, Demak, Giri, Gowa, Tanjungpura, Banjar, Kutai, Ternate, Tidore, Gorontalo, Jailolo dan Papua. Dari daerah pesisir ini Islam menyebar ke daerah pedalaman.
Jalan masuknya Islam ke Indonesia diperkirakan melalui dua jalur, yaitu :
1.       Jalur Utara, melalui Jazirah Arab - Damaskus – Baghdad – Gujarat (India) – Ceylon (Srilanka) - Indonesia.
2. Jalur Selatan, melalui Jazirah Arab – Yaman – Gujarat (India) – Ceylon (Srilanka) – Indonesia.
B.      Cara Penyebaran Islam di Indonesia
Kedatangan agama baru ini menarik perhatian penduduk lokal. Secara garis besar penyebaran Islam di Indonesia melalui tiga jalur, yaitu perdagangan, hubungan sosial (perkawinan dan politik), dan pengajaran (pesantren, tasawwuf dan kesenian).
1. Jalur Perdagangan.
Kesibukan lalu-lintas perdagangan sekitar abad ke-7 sampai abad ke-16 telah melibatkan pedagang-pedagang Muslim dari Arab, Persia dan India. Melalui transportasi laut mereka sampai di daerah pesisir Indonesia. Sambil berdagang mereka berdakwah baik melalui sikap mereka yang menampilkan sikap akhlakul karimah  seperti berlaku jujur, sopan, ramah, benar dalam menakar dan menimbang barang dagangan (da’wah bil hal); maupun secara lisan dengan menjelaskan ajaran-ajaran Islam  secara langsung (da’wah bil lisan)
Masuknya Islam dengan cara perdagangan ini sangat efektif, karena yang terlibat dalam urusan perdagangan bukan hanya rakyat kecil tetapi juga para bangsawan dan raja, bahkan banyak diantaranya sebagai pemilik kapal dan pemilik saham.
Selanjutnya para pedagang Muslim ini mendirikan pemukiman dan masjid serta mendatangkan mullah dari negeri asalnya untuk mengajar agama. Berpusat di masjid inilah kemudian Islam menyebar ke daerah pedalaman.
2. Jalur Hubungan Sosial
Penyebaran Islam melalui jalur hubungan sosial terjadi melalui dua cara, yaitu dengan cara perkawinan dan politik. Dari segi ekonomi para pedagang Muslim mempunyai status sosial yang lebih tinggi dibanding rakyat setempat. Hal ini menjadi daya tarik rakyat pribumi terutama para bangsawan untuk menikahkan anak mereka dengan pedagang Muslim atau anaknya, tentu saja sebelum menikah anak-anak bangsawan ini harus mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikian yang terjadi antara Raden Rahmat (Sunan Ampel) dengan Nyai Manila, Sunan Gunung Jati dengan Putri Kawunganten, Brawijaya dengan Putri Campa yang menurunkan Raden Patah (Raja Demak yang pertama). Melalui jalur perkawinan ini, selanjutnya Islam berkembang secara turun temurun.
Dari sisi politik, masuk Islamnya raja atau bangsawan sangat berpengaruh terhadap keyakinan yang dianut rakyatnya. Melalui kewibawaan ataupun kebijakannya raja dan bangsawan mengislamkan rakyatnya. Demikian yang terjadi di Jawa, Maluku dan Sulawesi. Di samping itu karena alasan politis juga, kerajaan-kerajaan Islam yang sudah berdiri kerapkali menaklukan daerah baru yang belum Islam. Kemenangan ini menarik perhatian rakyat di daerah taklukan dan sekitarnya untuk masuk Islam. Misalnya Raden Patah membantu Pangeran Samudra memerangi kerajaan Daha, setelah mendapat kemenangan Pangeran beserta rakyatnya masuk Islam.
Para ulama mempunyai hubungan dekat dengan raja bahkan beberapa diantaranya menjadi penasehat. Sebagai penghormatan, setelah seorang ulama wafat jasadnya dimakamkan di dekat makam raja atau keluarganya.
Cara-cara berdakwah Sunan Drajat banyak dilakukan melalui kegiatan sosial seperti kegotongroyongan dan santunan.
3. Jalur Pengajaran
Setidaknya tedapat tiga cara masuknya Islam di Indonesia melalui jalur pengajaran, yaitu pesantren, tasawwuf dan kesenian. pengajaran Islam yang dilaksanakan di kalangan keluarga bangsawan pada umumnya dilakukan secara privat, artinya diikuti secara khusus oleh keluarga bangsawan tersebut dengan mullah sebagai pengajar. Sedangkan pengajaran untuk kalangan rakyat umumnya berlangsung di masjid. Pengajaran di masjid ini semakin banyak diikuti oleh para muallaf, hal ini mendorong para kiai dan ulama semakin serius menyelenggarakan pendidikan Islam.
Agar proses pendidikan berjalan dengan baik mereka mulai mendirikan lembaga pendidikan berupa pesantren, sedangkan muridnya disebut santri. Setelah menyelesaikan pendidikannya para santri kembali ke daerah masing-masing ataupun dikirim ke daerah baru untuk menyebarkan Islam. Contohnya pesantren Raden Rahmat di Ampel Denta (Surabaya) dan pesantren Sunan Giri di Giri (Gresik). Tamatan pesantren Giri banyak yang dikirim ke Maluku untuk menyebarkan Islam.
Berdasarkan akar sejarah, pesantren di Jawa menjadi tujuan belajar para santri dari luar daerah. Setelah tamat, merekapun kembali ke daerah asalnya untuk melanjutkan Islamisasi, dan banyak di antaranya yang kemudian mendirikan pesantren sendiri.
Penyebaran Islam melalui tasawwuf atau teosofi (menjauhkan diri dari kesibukan duniawi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan) terutama diperkenalkan kepada penganut Hindu yang menganut paham teosofi tersebut. Oleh para muballigh, teosofi Islam disesuaikan dengan alam pikiran Indonesia saat itu, sehingga Islam lebih mudah diterima. Diantara para ulama yang berkecimpung di bidang tasawwuf adalah Hamzah al-Fansuri (Aceh), Syaikh Lemah Abang dan Sunan Panggung (Jawa).
Jalur kesenian ditempuh oleh para muballigh karena mereka melihat masyarakat setempat menggandrungi kesenian, misalnya wayang. Sunan Kalijaga dikenal sebagai muballigh yang mahir memainkan wayang purwa (wayang kulit). Pagelaran wayang dilaksanakan di beranda masjid. Di depan masjid sengaja dibuat kolam yang dangkal, tujuannya agar orang yang akan menonton wayang membersihkan kakinya terlebih dahulu. Cerita-cerita pewayangan diambil dari Kitab Mahabharata dan Ramayana, namun oleh Sunan diubah dengan cerita yang bernuansa Islam demikian dengan tokoh-tokoh wayangnya. Sunan tidak meminta upah, para penonton hanya diminta mengucapkan dua kalimah syahadat setelah selesai pertunjukan. Kesenian lain yang digunakan sebagai sarana Islamisasi adalah sastra (hikayat, babad), seni bangunan dan seni ukir.
C.      Kerajaan Islam di Nusantara
Tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam terjadi melalui beberapa cara, pertama karena adanya raja atau bangsawan yang memeluk Islam yang kemudian mengubah kerajaaannya menjadi kerajaan Islam, contohnya Gowa - Tallo; kedua kerajaan yang sudah ada dalam keadaan lemah sehingga menjadi peluang bagi penguasa daerah pesisir untuk mendirikan kerajaan, misalnya kerajaan Demak; ketiga karena pemeluk Islam di suatu daerah semakin banyak dan kuat sehingga membutuhkan pimpinan, misalnya kerajaan Samudra Pasai.
Tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia berlangsung mulai abad ke-11 M sehingga sampai abad ke-18 setidaknya terdapat 17 kerajaan.

1. Kerajaan Islam di Jawa
Islamisasi di Jawa sudah berlangsung sejak abad ke -11 terbukti dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran (Gresik) yang bertarikh 475 H atau 1082 M. Berlanjut hingga pada saat Majapahit mencapai puncak kejayaannya sekitar abad ke -13 sudah banyak penganut Islam, dibuktikan dengan ditemukannya nisan kuburan Muslim di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Komunitas Muslim dan kuatnya pengaruh penguasa yang sudah Muslim memicu tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam. Tercatat adanya beberapa kerajaan Islam di Jawa, seperti Demak, Pajang, Mataram, Cirebon dan Banten.

a. Kerajaan Demak
Raden Patah adalah raja Demak pertama yang diangkat berdasarkan kesepakatan Wali Songo, bergelar Senopati Jimbun Ngabdurahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Raden Patah memerintah sekitar akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Raja Demak sepeninggal Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor (Pati Unus), Sultan Trenggono (Sultan Ahmad Abdul ’Arifin) tahun 1524 – 1546, dan Sunan Prawoto.
Masa keemasan Demak berlangsung pada masa pemerintahan Sultan Trenggono. Pada masa ini Islam sudah tersebar ke seluruh Jawa dan Kalimantan Selatan. Ditandai pula dengan beberapa penaklukan seperti Sunda Kelapa, Majapahit dan Tuban (1527), Madiun (1529), Blora (1530), Surabaya (1531), Pasuruan (1535) dan beberapa daerah lain.
Kerajaan Demak berakhir karena pemberontakan beberapa adipati di sekitar Demak. Pemerintahan Demak dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di daerah Kartasura.

b. Kerajaan Pajang
  Pajang dianggap sebagai penerus kerajaan Demak. Pada mulanya Pajang merupakan salah satu kadipaten Demak. Setelah terjadi kekacauan di Demak, penguasa Pajang, Jaka Tingkir segera mengambil alih kekuasaan dan menjadi raja Pajang pertama, bergelar Sultan Adiwijaya. Penguasa Pajang sepeninggal Sultan Adiwijaya adalah Aria Pangiri dan Pangeran Benawa.
Puncak kejayaan Pajang dicapai pada masa Sultan Adiwijaya diantaranya mengenalkan kesusastraan dan kesenian keraton Demak ke masyarakat Pajang di pedalaman dan berhasil menaklukan Blora (1554) dan Kediri (1577). Hubungan dengan kerajaan lain pada masa ini umumnya berlangsung baik.   
Sepeninggal Sultan Adiwijaya, Pajang diliputi dengan intrik dan perebutan kekuasaan serta di bawah pengaruh Mataram. Riwayat Pajang berakhir tahun 1618 karena memberontak terhadap Mataram dan berhasil dihancurkan Mataram.

c. Kerajaan Mataram
Pendiri kerajaan Islam Mataram adalah Ki Gede Pemanahan. Sepeninggalnya Mataram dipimpin oleh Panembahan Senapati Ingalaga, Panembahan Seda Ing Krapyak, Sultan Agung, dan Amangkurat I.
Pada masa Sultan Agung (wafat 1646), Mataram sudah menguasai seluruh Jawa Timur (1636). Pada masa ini pula Belanda mulai masuk ke Jawa dan mendirikan VOC (Verinidge Oost Indische Compagnie, persekutuan dagang Belanda). Sultan Agung tidak suka dengan maksud kedatangan Belanda, oleh karena itu antara keduanya sering terjadi peperangan. Antara tahun 1625 – 1629 Sultan Agung menyerang Batavia yang berakhir dengan kekalahannya. Karya besar Sultan Agung lainnya adalah mengubah penanggalan Saka dengan penanggalan Jawa – Islam pada tahun 1633. Sepeninggal Sultan Agung, Mataram diperintah oleh Amangkurat I.
Masa pemerintahan Amangkurat I diwarnai berbagai konflik, musuh politik Amangkurat I adalah kalangan yang didukung oleh para ulama. Oleh karena itu masa pemerintahannya dinodai dengan penumpasan sekitar 5.000 ulama pada tahun 1647 M. Disamping itu campur tangan Belanda semakin kuat sehingga wilayah Mataran semakin menyempit.
Berdasarkan Perjanjian Giyanti (1755) Mataram dipecah menjadi dua yaitu Mataram Surakarta (Kasunanan) dan Mataram Yogyakarta (Kesultanan). Kemudian muncul lagi pecahan Mataram berikutnya yaitu Mangkunegaran dan Pakualaman.
Kerajaan Mataram Islam mempunyai andil besar dalam pengembangan Islam di Jawa. Selain perluasan Islam ke daerah-daerah lain upaya lain untuk memajukan Islam dilaksanakan melalui pendirian masjid, penerjemahan naskah Arab ke bahasa Jawa dan pendirian pesantren.

d. Kesultanan Cirebon
 Awal abad ke ke -16 Cirebon hanya sebuah pelabuhan kecil bagian kekuasaan kerajaan Pakuan Pajajaran. Prabu Siliwangi, raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuh bernama Pangeran Walangsungsang. Ketika berhasil memajukan Cirebon, Pangerang Walangsungsang sudah memeluk Islam. Tetapi yang berhasil menjadikan Cirebon menjadi kerajaan adalah Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati (1448-1568 M), pengganti sekaligus keponakan Pangeran Walangsungsang. Dialah pendiri kesultanan Cirebon kemudian Banten.
Dari Cirebon Sunan Gunung Jati menyebarkan Islam ke daerah lain di Jawa Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Penguasa Cirebon setelah Sunan Gunung Jati adalah Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu (wafat 1650) dan Panembahan Girilaya. Setelah Panembahan Girilaya wafat, kesultanan Cirebon dibagi menjadi dua yaitu Kesultanan Kasepuhan dipimpin oleh Panembahan Sepuh (Martawijaya bergelar Syamsuddin) dan Kesultanan Kanoman yang dipimpin oleh Panembahan Anom (Kartawijaya bergelar Badruddin).

e. Kesultanan Banten
Setelah menguasai Banten, Sunan Gunung Jati segera meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan perdagangan (1524-1525 M), selanjutnya beliau kembali ke Cirebon. Kekuasaan di Banten diserahkan kepada anaknya, Sultan Hasanuddin.
Saat kekuasaan Demak beralih ke Pajang (1568), Banten memerdekakan diri dan Sultan Hasanuddin menjadi raja pertama. Raja-raja Banten sepeninggalnya adalah Maulana Yusuf, Sultan Muhammad, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir, dan Sultan Abdulfath Abdulfath.
Melalui Banten Islam tersebar ke Lampung, Bengkulu, Jayakarta dan Karawang. Kesultanan Banten berakhir karena mulai masuknya Belanda.

2. Kerajaan Islam di Sumatera
Islamisasi pesisir Sumatera sudah dimulai sejak abad ke -7 M. Karena jumlah penganut Muslim semakin bertambah, timbullah kerajaan-kerajaan Islam (abad ke-13) seperti Samudera Pasai dan Aceh Darussalam.
a. Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Malik al Saleh yang memerintah sampai 1207 M. Berturut-turut raja yang memerintah setelah malik al Saleh adalah Muhammad Malik al Zahir, Mahmud Malik al Zahir, Manshur  Malik al Zahir, Ahmad Malik al Zahir, Zain al Abidin Malik al Zahir, Nahrasiyah, Abu Zaid Malik al Zahir, Mahmud Malik al Zahir, Zain al Abidin, Abdulllah Malik al Zahir, dan Zain al Abidin.
Samudera Pasai beribukota di daerah Muara Sungai Peusangan (Aceh  timur laut), erupakan salah satu mata rantai perdagangan Arab, India dan Cina. Basis perekonomiannya adalah perdagangan dan pelayaran dengan dirham sebagai mata uangnya. Kerajaan ini pernah disinggahi oleh Ibnu Batutah, pengembara Muslim asal Maroko pada tahun 1345 M.
Tahun 1521 kerajaan ini ditaklukkan Portugis, kemudian tahun 1524 direbut dan dijadikan wilayah oleh kerajaan Aceh Darussalam.
b. Aceh Darussalam
Kerajaan ini didirikan oleh Muzaffar Syah (1465 – 1497 M), saat terletak di wilayah Kabupaten Aceh Besar. Peletak kebesaran kerajaan Aceh adalah Sultan Alauddin Riayat Syah, ia menggalang kerjasama dengan kerajaan Turki Usmani.
Pada masa Ali Mughayat Syah (1514 – 1530) Aceh memperluas wilayahnya ke Pidie dan Sumatera Timur. Raja Aceh sepeninggalnya adalah Salahuddin, Sultan Alauddin Riayat Syah al Kahar, dan Iskandar Muda, Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah, Ratu Taj al Alam dan raja-raja perempuan lainnya.
Kerajaan Aceh mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1608 – 1637). Pada masa pemerintahannya wilayah Aceh meliputi seluruh pesiri timur dan barat Sumatera dan Minangkabau.
Raja Aceh yang terakhir adalah Iskandar Tsani, dia memerintah dengan moderat dan adil, pengetahuan agama berkembang pesat.
Masjid Agung Baiturrahman Banda Aceh
(Sumber : Ensiklopedi Islam)

)

3. Kerajaan Islam di Sulawesi
Penyebaran Islam di Sulawesi sebenarnya sudah dirintis oleh Sultan Babullah dari Ternate. Ia mengadakan perjanjian persahabatan dengan kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan dua kerajaan kembar di Sulawesi. Kedua kerajaan ini biasa disebut dengan kerajaan Makassar. Melalui perjanjian ini Sultan Babullah berusaha mengajak raja Gowa-Tallo untuk masuk Islam, tetapi gagal. Baru setelah kedatangan Datu’ Ri Bandang ke Gowa-Tallo, Islam berhasil masuk ke Gowa-Tallo.
a.       Kerajaan Gowa – Tallo
Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna (1593 – 1639) adalah raja Gowa – Tallo pertama yang masuk Islam pada tahun 1605. Setelah itu penyebaran Islam dilakukan berdasarkan perjanjian raja-raja Bugis – Makassar. Perjanjiani ini mengharuskan raja yang menemukan ”hal baik” agar memberitahukannya kepada yang lain. Oleh karena itu Sultan Alauddin menyampaikan ”pesan Islam” kepada kerajaan lainnya. Penguasa Gowa setelah Alauddin adalah Sultan Malikussaid kemudian Sultan Hasanuddin (1653 – 1659).
Gowa merupakan musuh utama VOC. Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin terjadi peperangan besar dengan VOC yang bersekutu dengan Aru Palaka, seorang Pangeran Bugis. Pertempuran ini berakhir dengan penandatanganan Perjanjian Bongaya (1667).
Bekas Istana kerajaan Gowa, sekarang dijadikan museum.
(Sumber : Ensiklopedi Islam)



Perjanjian Bongaya mengakibatkan kekuasaan Gowa di Sulawesi semakin lemah dan digantikan Bone. Tahun 1672 Aru Palaka menjadi Raja Bone. Kerajaan Islam di Sulawesi  mulai lemah ketika Belanda berhasil memperkuat posisinya dengan menguasai  jalur perdagangan di wilayah Indonesia Timur pada akhir abad ke -17.

b.      Kerajaan Luwu, Wajo, Soppeng dan Bone
Selain Gowa – Tallo, di Sulawesi terdapat kerajaan lain seperti Luwu, Wajo, Soppeng, dan Bone (kerajaan Bugis). Islamnya kerajaan Bugis diawali dari seruan Sultan Alauddin atas dasar perjanjian raja-raja Bugis – Makassar tentang ”hal baik” tersebut di atas. Luwu segera menerima seruan tersebut. Tiga kerajaan lain yakni Kerajaan Bone, Soppeng dan Wajo menolak, kemudian terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan ini disebut dengan Musu Selleng atau Perang Islam. Ketiga kerajaan tersebut tergabung dalam persekutuan Tellumpoco. Karena mengalami kekalahan Kerajaan Wajo masuk Islam pada tahun 1610 dan Bone tahun 1611. Dengan masuk Islamnya Bone maka seluruh wilayah Sulawesi Selatan sudah masuk Islam, kecuali Tana Toraja.